Ada
berbagai macam potret pembelajaran yang ada di sekolah dasar, entah itu
terpenuhi segala apa yang di butuhkan oleh kegiatan pembelajaran ataukah jauh
dari kesempurnaan yang berakibat pada tingkat keberhasilan belajar. Berikut
adalah potret dari pembelajaran di sekolah dasar yang perlu di kritisi oleh
pelaku pendidikan.
A. Sarana –Prasarana dan Keterjangkauan Wilayah
Seperti yang telah kita
ketahui bersama, selain terbatasnya tenaga guru, kemdala proses belajar-mengajar
yang selama ini ditemukan adalah kurang memadainya sarana dan prasarana
penunjang yang ada. Bagi yang kebetulan mengajar di daerah yang secara
geografis terpencil, mungkin saat ini Anda merasakan bahwa apa yang disampaikan
merupakan kenyataan yang setiap hari Anda temukan. Bagi yang mengajar di tempat
yang telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang, berikut adalah
contoh yang layak untuk direnungkan bagaimana proses pembelajaran yang
semestinya dilakukan. Untuk memperjelas pemahaman Anda, perhatikan
contoh-contoh berikut ini.
Contoh 1.
Siswa
kelas satu SD Negeri Inpres Bomomani mengikuti pelajaran sambil duduk di lantai
karena ruang kelas di desa pedalaman Distrik Mapia, Kabupaten Nabire, Papua itu kekurangan kursi.
Selain
kekurangan meja-kursi,perpustakaan itu juga tidak mempunyai koleksi buku.
Sekolah juga tidak memiliki buku pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan
Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, serta kekurangan ruang belajar dan guru.
Sumber:
//pendidikanpapua.blogspot.com/2007/09/buramnya-pendidikan-di-kabupaten-nabire.html-11Ok-
(diakses 14 November 2007)
Contoh 2.
Togizita
adalah sebuah desa berpenduduk 2.000 jiwa di pedalaman Nias (Sumatera Utara).
Jaraknya dari Gunung Sitoli hanya 59 km, tetapi dibutuhkan lima jam dengan
kendaraan untuk mencapainya. Desa yang diapit Sungai Oyo dan Siwalawa
(masing-masing lebarnya 50-8- meter dan tanpa jembatan) mempunyai tiga Sekolah
Dasar dengan 700 murid, sedangkan satu SMP, dan satu SMA masih dalam persiapan
dan baru dibuka tahun ini. Selain dari Togizita, siswa datang dari desa-desa
kecil di seberang kedua sunngai yang mengapit Togizita. Dari situlah
saran-prasarana kurang memadai karena keterjangkauan wilayah karena letak
geografis yang terpencil dan kurang adanya kesadaran pentingnya suatu
pendidikan.
Dari
contoh diatas dapat ditark kesimpulan bahwa pertama, letak geografis suatu
lembaga pendidikan sehingga untuk menjangkaunya diperlukan waktu dan alat
transportasi yang memadai. Akibatnya, apa yang telah ada tidak mampu untuk
dirawat dan dipelihara karena kurangnya tenaga pendidik dan kependidikan yang
ada.
Sebagai
contoh di kawasan selatan kota Jakarta, tepatnya daerah Parung, terdapat suatu
Kompleks sekolah modern, mulai dari SD-SMA yang dilengkapi dengan saran dan
prasarana yang sangat memadai.
Untuk tingkat SD, selain jumlah siswa dibatasi
maksimal 25 siswa. Untuk mendukung lancarnya proses belajara-mengajar, setiap
siswa memperoleh fasilitas antar jemput dari rumah ke rumah dengan mobil yang
kondisinya layak jalan tentu saja dilengkapi AC. Selain itu, untuk mendukung
kegiatan berkesenian atau kegiatan besar lainnya, sekolah juga memiliki ruang
sidang besar.
Dengan
situasi yang demikian siswa merasa nyaman dan proses belajar-mengajar bisa
berlangsung secara kondusif.
B. Ketidakmerataan Jumlah Guru
Salah
satu persoalan dari seorang guru di tanah air, selain kesejahteraan adalah
ketidakmerataan jumlah mereka. Perbandingan anatara guru yang mengajar di
daerah terpencil dengan guru yang mengajar di kota sangat jauh. Jadi dari segi
kualitas, jumlah guru sebetulnya belum memadai, tetapi tidak demikian dengan
pemerataan dan kualitasnya.
Dengan
adanya potret seperti contoh-contoh diatas diharapkan dari semua pihak untuk
merenungkan kembali arti penting dari sebuah pendidikan, khususnya untuk
generasi muda yang nantinya menjadi tunas bangsa yang tangguh.
Daftar Pustaka
http://pendidikanpapua.blogspot.com/2007/09/buramnya-pendidikan-di-kabupaten-nabire.html-11Ok-
(diakses 14 November 2007)
Wardani,
dkk. 2009. “Perspektif Pendidikan SD”. Jakarta: Pusat Penerbitan UT
Ismail,
dkk. 2007. “Pembaruan dalam Pembelajaran”. Jakarta : Pusat Penerbitan UT